Dari hal inilah maka muncul
bagaimana persoalan antara filsafat dengan wahyu, Dalam hal hubungan antara
keduanya adalah:
1. Di dalam urut-urutan kedudukan dalam humanitas
maka teologi menduduki tempat yang lebih tinggi dari filsafat, baik dikenakan
obyek pembahasannya yang bersifat gaib atas alam, maupun kerena dasar formal
yang menjadi jaminan kebenarannya yaitu firman Tuhan yang tidak mungkin salah. Sementara itu, A hanafi, M.A dalam
bukunya pengantar filsafat islam menyatakan pandangan al-Farabi bahwa tujuan
filsafat dan agama bagi al-Farabi adalah sama. Yaitu mengetahui semua wujud.
Hanya saja filsafat memakai dalil-dalil yang diyakini dan ditunjukkan oleh
golongan tertentu, sedang agama memakai cara Iqna'i (pemuasan perasaan) dan
kiasan-kiasan serta gambaran yang ditujukan kepada semua orang, bangsa dan
negara. Prof Ir Poedjawijatna dalam membicarakan kebenaran mengatakan sebagai
berikut:
Kebenaran sesuatu dalam agama tergantung kepada diwahyukan atau tidaknya. Yang
diwahyukan Tuhan haruslah dipercayai, oleh karena itu agama disebut
kepercayaan. Alasan filsafat untuk menerima kebenaran bukanlah kepercayaan,
akan tetapi penyelidikan sendiri. Filsafat tidak mengingkari atau mengurangi
wahyu, tetapi tidak mendasarkan penyelidikannya atas wahyu. Mungkin ada
beberapa hal yang masuk kewilayah agama yang juga diselidiki filsafat.
Selanjutnya dikatakan bahwa antara filsafat dan agama pada pada prinsipnya
tidak ada pertentangan, karena kalau kedua-duanya memang mempunyai kebenaran,
maka kebenaran itu tentulah satu dan tidak mungkin berbeda. Tak mungkin sesuatu
itu pada prinsipnya benar dan tidak benar. Pada akhirnya secara tegas dikatakan
bahwa lapangan agama dan filsafat dalam beberapa hal mungkin sama, akan tetapi
pada dasarnya amat berlainan. filsafat berdasarkan fikiran, sedangakan agama
berdasarkan atas wahyu.
2. Kita tidak dapat mengatakan bahwa
kepercayaan agama itu telah memberi pengaruh yang positif terhadap filsafat.
Bukanlah filsafat telah mengalami perubahan dasar sehingga benar-benar
dinamakan agamis, dan dengan begitu dia bukan filsafat yang sebenarnya lagi.Di
tinjau dari sejarah, agama islam, yahudi maupun kristen yang mengajarkan
tentang hidup telah memberi pengaruh yang dalam pada pikiran-pikiran filsafat
terutama terhadap pikiran-pikiran mereka yang menganut agama tersebut.
Memang kepercayaan agama dari luar dapat
memberi arah kepada seseorang filosof dengan mengemukakan suatu obyek (tujuan)
yang akan dicapai seperti menyusun suatu pembuktian tentang adanya Tuhan,
mencari perbedaan antar alam, pribadi dan sebagainya. Hendaknya kita perhatikan
bahwa suatu kebenaran baru masuk formal dalam pandangan filsafat apabila
dimengerti dengan segala realitas atau bila kita mampu mencapai suatu proses
discursive (berpisah dari satu objek ke objek yang lain)
Apabila
kita umpamanya meyakinkan bahwa Tuhan itu ada maka dalil ini hanya akan diambil
dari filsafat dengan ukuran dimana kita membayangkan akan membuktikannya dengan
alat-alat ilmiah, jika tidak begini keadaannya maka kebenaran dalil itu
bagaimanapun juga dasarnya adalah tidak filosofis. Karena itu, maka arah
positif yang dapat diberikan oleh teologi pada filsafat bagaimanapun harganya
adalah tetap hanya merupakan suatu keadaan yang membawa filsafat kedalam suatu
suasana. Kepercayaan
merupakan sesuatu yang berjalan di muka filsafat tetapi bediri di luar apa yang
merupakan aktifitas filsafat yang sebenarnya.
Seperti yang diberitahukan oleh agama-agama samawi maka kita berada pada neveau
(tingakatan) yang lebih tinggi dari tingkatan akal murni.
Apabila teologi itu pada kenyataannya besifat
agama maka filsafat tidaklah demikian tetapi tetap bersifat rasional dan
kemanusiaan murni. Tetapi kebijaksanaan Tuhan tidaklah merusak aturan alam,
bahkan mengangkatnya.
Kebijaksanaan
Tuhan berbeda dengan aturan alam tetapi ia menerima aktivitas alam, bahkan
memperkayanya. Perkembangan seorang muslim umpamanya menghendaki agar dia
menggunakan kekuatan alam secara formal dan dalam kenyataannya memang berbeda
dengan kekuasaan Tuhan. Seseorang yang beragama islam akan dapat mengembangkan
kemampuannya secara wajar dan harmonis. Dengan begitu akan lebih sesuai dengan
kehidupan keagamaannya.
Demikinlah
perbedaan atau relevansi filsafat
dan agama, yang keduanya mempunyai titik
ketersinggungan satu sama lainnya, bahkan keduanya saling memperkuat. Hanya saja
kesalahpahaman terhadap keduanya disebabkan oleh adanya wawasan yang sempit di
antara, ilmuan, filosuf dan ulama-ulama.